Melacak sejarah filantropi dunia perlu untuk dipelajari sebagai bahan acuan dan pengetahuan dalam mempraktikkan salah satu kegiatan kemanusiaan ini. Kalau dalam Islam sendiri, filantropi tentunya tidak terpisah dari tuntunan Islami itu sendiri. Antara lain, Q.S Al-Baqarah ayat 268 dan ayat ke-261. Ayat yang kedua ini berbunyi :
Artinya : “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”
Kemudian, kalau dilihat dari segi bahasan, kata filantropi (dalam bahasa inggris philanthropy) secara etimologis berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang artinya cinta dan anthropos yang berarti manusia. Filantropi sendiri kemudian bermakna mencintai sesama manusia. Dalam artian, peduli pada kondisi manusia yang lainnya dan menyayanginya, sehingga kita bertanggung jawab jika ada orang lain kondisinya tidak sebaik kita.
Menilik dari sejarah filantropi dunia, sikap solidaritas untuk mencintai sesama manusia ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Awalnya merupakan sebuah sikap yang erat kaitannya dengan semangat kebebasan manusia.
Dalam cerita dewa-dewa Yunani, dikisahkan bahwa tirani dewa tertinggi Yunani, yaitu Zeus terus membelenggu manusia dalam kondisi bodoh, selalu dirundung ketakutan, kegelapan, dan tak berdaya.
Dari latar belakang tersebut, akhirnya, seorang dewa bernama Promotheus pun turun tangan menanggapi kondisi yang terjadi. Ia menyelamatkan manusia dan memberi mereka api dan harapan agar terlepas dari kondisi yang mengenaskan tersebut.
Kecintaan Promotheus pada manusia ini membuat awal munculnya sebuah rasa solidaritas untuk menolong pihak lain yang sedang berada dalam kondisi susah. Semangat perbaikan peradaban manusia dan menolongnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pun terus lestari hingga kini.
Ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia ini pun ditafsirkan meluas dalam kamus Webster. Di sana dijelaskan bahwa cara mengungkapkan rasa cinta kasih ini tidak melulu dalam bentuk uang dan barang, namun bisa juga melalui jasa atau sikap nyata lain, seperti menjadi relawan, yang bisa meningkatkan rasa cinta pada sesama atas nama kemanusiaan.
Sayangnya, sikap filantropi ini tak banyak dijadikan acuan utama dalam peradaban besar umat manusia. Sebagian besar peradaban dengan sistem kerajaan tak banyak yang memerhatikan kehidupan rakyat kecil.
Justru, rakyat diperah mati-matian agar membayar upeti kepada penguasa. Dalam tatanan Kerajaan Inggris Kuno, misalnya, para pemilik tanah pun bersikap lebih kejam dengan bukan hanya merampas harta, melainkan juga merampas para gadis terbaik sebagai pendamping para pemilik tanah yang beristri banyak.
Baca Juga : <strong>Filantropi dalam Arus Sejarah Islam</strong>
Sikap kapitalisme seperti dalam dua contoh kerajaan ini dan banyak kerajaan lainnya akhirnya tumbang karena keberanian rakyatnya untuk memberontak dan mengubah sistem agar tidak ada lagi ketimpangan kondisi antara raja, bangsawan, para pemilik tanah, yang sangat jauh dengan kondisi rakyat kecil, dan kaum pekerja.
Tak hanya Inggris, kerajaan Prancis juga pernah bersikap demikian. Raja Louis XVI tak pernah memedulikan kebutuhan rakyatnya. Justru, ia malah banyak mengadakan pesta pora yang meriah, membangun istana yang indah dengan gaun-gaun mahal, dan makanan yang sangat lezat. Berbanding terbalik dengan kondisi rakyatnya yang selalu kelaparan dan penjara disesaki oleh para pencuri sepotong roti basi untuk mengisi perutnya.
Kembali lagi pada filantropi. Sikap filantropi tak hanya diajarkan dalam budaya Yunani dan Islam semata, tetapi sudah ada sejak zaman-zaman sebelumnya. Sebagai contoh adalah ketika para penguasa Mesir Kuno menetapkan tanah untuk dimanfaatkan para pemuka agama. Sedangkan, orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menyumbangkan harta benda mereka untuk perpustakaan dan pendidikan. Berbekal dari situ, semua agama pun juga mengajarkan soal bagaimana memanusiakan manusia melalui kegiatan-kegiatan sosial.
Wallahu a’lam bissawab …