Penamaan Bulan Dzulqa’dah memiliki sejarah tersendiri. Bulan ke-sebelas dalam tahun Hijriyah ini merupakan salah satu dari bulan haram (suci). Dinamakan demikian karena pada bulan tersebut Allah SWT melarang seluruh hamba-Nya berbuat dosa atau melakukan hal yang dinilai haram menurut syariat Islam.
Jika melihat dari arti kata harfiahnya, Dzulqadah berasal dari bahasa Arab ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah). Sementara itu, dalam kamus al-Ma’ānī kata dzū artinya pemilik, namun jika digandengkan dengan kata lain akan mempunyai makna tersendiri, misalnya dzū mālin (orang kaya), dzū ‘usrah (orang susah).
Kemudian, kata “qa’dah” adalah derivasi dari kata “qa’ada”, atau tempat yang diduduki. Maka, secara etimologi orang yang memiliki tempat duduk, dalam pengertian orang itu tidak bepergian kemana-mana, banyak duduk (di kursi).
Dari asal kata “qa’ada” ini bisa berkembang beberapa bentuk dan pemaknaan. Seperti taqā’ud yang berarti pensiun, konotasinya orang yang sudah purna tugas akan berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk (di kursi).
Baca Juga : Peristiwa Penting di Bulan Dzulqa’dah
Jika melihat sejarah Islam yang kebanyakan merujuk di Arab, dalam Lisānul ‘Arab dijelaskan bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqadah. Hal itu karena pada bulan ini orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan.
Kebiasaan itu dilakukan guna menghormati dan mengagunggkan bulan suci ini. Walhasil, seluruh jazirah Arab pada bulan tersebut dipenuhi ketenangan. Sumber lain pun mengatakan bahwa masyarakat Arab saat itu tidak bepergian dikarenakan untuk persiapan ibadah haji.
Tetapi, dalam kalender Jawa, bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Penamaan ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah).
Wallahu a’lam bissawab …