Negara kita adalah negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha penghormatan tinggi kepada kehidupan beragama, kepada semua agama. Memberi tempat yang baik kepada nilai-nilai keagamaan di dalam peraturan perundangan. Tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan nilai agama. Hari besar agama banyak kita jadikan sebagai hari besar dan hari libur (kantor) nasional.
Karena itu, kita menganggap bahwa Indonesia adalah negara religius. Selanjutnya kita menganggap bahwa orang Indonesia itu dengan sendirinya (secara otomatis) juga religius, yaitu manusia yang berTuhan.
Buktinya setiap tahun jumlah orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak sedunia. Jumlah yang pergi umrah juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun. Suasana ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.
Ibadah puasa kita -yang wajib di bulan Ramadlan maupun yang sunnah- ternyata tidak membuat kita mampu mewujudkan keadilan sosial, hukum dan ekonomi. Padahal Allah berfirman: “Berbuat adillah karena adil itu dekat dengan taqwa”.
Taqwa adalah maqom tertinggi bagi orang beriman dan menjadi tujuan dari kita berpuasa. Ternyata shalat kita -wajib dan sunnah- tidak mampu mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar. Padahal Islam mengajarkan bahwa shalat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar.
Jadi kita harus bertanya, puasa macam apakah yang kita lakukan? dan macam apa pula shalat kita itu? Apakah puasa kita hanya memberi kita lapar dan haus seperti yang pernah diingatkan oleh Rasulullah SAW? Apakah shalat kita hanya ibadah rutin yang lebih bersifat fisik dan tidak bermakna?
Di dalam al-Quran surat al-Jaatsiah ayat 23, Allah SWT berfirman: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya“.
Tidak ada salahnya dalam kesempatan merenung di bulan suci Ramadhan, kita semua (termasuk penulis) bertanya dengan jujur kepada diri kita masing-masing, “Betulkah kita sungguh-sungguh berTuhan?” Apakah kita termasuk ke dalam mereka yang disebutkan Allah SWT di dalam ayat di atas?
Apakah betul bukan kekayaan harta yang menjadi Tuhan kita? Apakah sungguh bukan kekuasaan yang kita sembah? Apakah bukan nama besar yang kita kejar? Kalau kita memang bertuhan, mengapa kita secara meluas berani menentang perintah-perintah Tuhan? Mengapa kita memaknai maksiat hanya meliputi berjudi, minuman keras, berzina?
Mengapa kita tidak menganggap politik uang, tidak menjalankan tugas negara dengan baik, mencederai janji sebagai pejabat negara, juga sebagai perbuatan maksiat? Semoga Allah membuka hati kita sehingga kita berani dan mampu menjawab dengan jujur sejumlah pertanyaan di atas. Kemudian membuktikan jawaban jujur itu dengan benar.
Wallahu a’lam bissawab …