Walaw syaa-a allaahu lajaalakum ummatan waahidatan walaakin yudhillu man yasyaau wayahdii man yasyaau walatus-alunna ammaa kuntum tamaluuna (93). Walaa tattakhidzuu aymaanakum dakhalan baynakum fatazilla qadamun bada tsubuutihaa watadzuuquu alssuu-a bimaa shadadtum an sabiili allaahi walakum adzaabun azhiimun (94).
Tiga ayat studi terakhir ini (92, 93 dan 94), pesannya unik, termasuk susunan dan urutannya. Pada ayat 92, dikedepankan soal larangan bersumpah demi meraih suara terbanyak. Lalu diselingi soal hidayah yang merupakan otoritas Tuhan pada ayat 93.
Tidak hanya itu, Tuhan juga mengancam akan membongkar semua kebusukan dan memberikan balasan. Kemudian kembali lagi melarang bersumpah-sumpah demi menarik simpati publik pada ayat 94.
Pesan globalnya begini, bahwa nafsu politik seseorang menjadi pemimpin itu sangat besar hingga tega berbuat apa saja, termasuk bersumpah-sumpah di hadapan publik meski dirinya sadar bahwa apa yang disumpahkan, apa yang dijanjikan itu susah diwujudkan. Begitulah godaan pangkat, sungguh sangat kuat dan memabukkan, jauh melebihi pengaruh narkoba.
Seseorang yang teler karena narkoba atau minuman keras, paling membahayakan diri sendiri saja, kadang mengganggu orang lain, tapi tidak sampai merusak negara. Tapi kalau orang mabuk pangkat, bisa korup besar-besaran dan merusak negara.
Untuk itu, dicelah-celah dua ayat larangan bersumpah menarik simpati tadi diselingi ayat hidayah yang ada di tangan Tuhan, agar seseorang segera mendekat kepada-Nya dan mengunduh hidayah dari-Nya. Itulah satu-satunya jalan penyelamat. Jika itu yang dilakukan, maka selamatlah dia dari pengkhianatan terhadap amanat kepemimpinan.
Ada perbedaan gaya pesan pada dua ayat bermiripan tersebut. Pada ayat 92, disinggung soal sumpah politik demi mendapatkan simpati dari kelompok yang lebih besar, demi mendapatkan suara lebih banyak.
“Tattakhidzuna aimanakum dakhala bainakum an takun ummah hiy arba min ummah”. Kalimat serupa diulang lagi pada ayat studi ini (94) dengan bubuhan kata larangan yang tegas “La” (jangan). “wa la tattakhidzu aimanakum dakhala bainakum” tapi tidak berorientasi pada tujuan menarik simpati, melainkan menunjuk akibat buruk yang timbul dari sumpah dan janji politik tersebut. Ada tiga, yakni:
Pertama, tergelincir, “fatazill qadam ba’d tsubutiha”. Dipakai istilah tergelincir (zalla) sebagai kiasan, bahwa orang yang mengumbar janji politik berpotensi tergelincir dan keluar dari jalur yang benar. Seperti kaki yang tergelincir saat berjalan, pasti keluar dari jalur yang benar, menjadi terjatuh atau keseleo.
Pastinya, pemimpin tersebut tidak akan bertindak lurus dalam mengemban amanat kekuasaan. Pasti ada curang, pasti berkhianat, entah seberapa. Umat sekian banyak dan terbuka saja lan-lanan dibohongi, di depan publik saja tega berbuat khianat, belum berkuasa saja sudah berani menipu, apalagi saat sudah berkuasa dan bisa berlaku leluasa.
Soal ketangkap KPK atau tidak, itu soal lain. Itu soal nasib, di samping soal kelihaian menutupi aib. Toh orang-orang di KPK, di pengadilan, di kejaksaan juga manusia.
Kedua, menuai keburukan. Sebagai akibat dari ketidakjujuran yang dia lakukan, pemimpin itu akan menanggung akibatnya. “Watadzuq al-su’ bima shadadtum ‘an sabilillah”. Bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, pasti meninggalkan jejak. Bahwa sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh juga. Sepandai-pandai membungkus bangkai, tetap saja akan tercium bau busuknya.
Bisa jadi tidak ketangkap KPK dan tidak pula dipenjara, tapi bisa dipastikan hidupnya tidak akan tenang dan terus dihantui kegelisahan, selalu waswas dan terus-menerus dalam kepura-puraan. Meskipun dipublikasikan dengan kegiatan agama dan gebyar al-qur’an, tetap saja tidak bisa menutupi hakekat persoalan.
Meskipun sudah tampil ramah, menyapa dan memanis-maniskan diri, tetap saja kecut rasanya di hati umat. Rasan-rasan publik tetap ada dan tidak bisa hilang begitu saja sebelum Tuhan menuntaskan. Keburukan (al-su’), entah apa bentuknya pasti ditimpakan kepadanya. Itu sudah menjadi keputusan Tuhan.
Ketiga, disiksa pedih di akhirat nanti. “Wa lakum adzab ‘adhim”. Siksaan tersebut mutlak adanya dan sudah tidak perlu lagi dikomentari. Pasti terjadi, tidak ada yang bisa menolong dan volumenya tiada terhingga. Akhirat adalah pembalasan pamungkas.
Andai seseorang bisa lolos dari hukuman dunia karena Tuhan menghendaki begitu, tapi itu tidak berarti baik. Sangat mungkin Tuhan tega dan nanti akan mengakumulasikan kepedihan hukuman. Hukuman di dunia digabung dengan hukuman akhirat. Nambah soro.
Tuhan bebas melakukan apa yang Dia mau. Tuhan tidak bisa diminta bertanggung jawab atas apa yang Dia lakukan, justru dia meminta kita mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan. La yus’al ‘an ma yaf’al wa hum yus’alun” (al-anbiya’:23).
Iman dan Amal Salih Kunci Hidup Multi Bahagia
Man amila shaalihan min dzakarin aw untsaa wahuwa mu/minun falanuhyiyannahu hayaatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanuu yamaluuna.
Setelah dilarang bersumpah politik yang sarat kebohongan, dilarang pula menukar kepentingan akhirat dengan dunia sesaat, lalu diberi pengarahan bahwa apa yang ada di tangan manusia pastilah sirna, sementara yang di ada tangan Tuhan pasti kekal, kini dinasehati agar manusia sungguh- sungguh beriman dan beramal kebajikan.
Dijamin total bakal hidup super enak saat di dunia. “falanuhyiyannah hayah thayyibah“, sementara di akhirat tetap dijamin lebih bagus dari itu, “wa najziyannhum bi ahsan ma kanu ya’malun”.
Janji Tuhan ini universal dan lintas jenis kelamin, pria maupun wanita, juga non diskriminatif, tak pandang dari suku mana dan berwarna kulit apa. Ngaji lebih dulu soal keuniversalan lafadz “man” pada ayat yang dikaji ini.
Jabatannya sebagai fungsionaris “syarat” yang punya fi’il dan punya jawab, pada tataran pertama masih konsisten dengan bentuk mufrad dan dilambangkan dengan gaya mufrad juga. Itu terlihat pada kalimat “‘amila” dan “wa huw mu’min”. Tapi setelah masuk tataran jawab, Tuhan mengubahnya dengan varian berbeda.
Jawab pertama dengan bentuk mufrad, yakni ” falanuhyiyannah”, menggunakan dlamir muttashil “huw”. Sedangkan pada ‘athaf atau jawab berikutnya digunakan bentuk jamak, “wa lajziyannahum”, pakai dhamir “hum” dan seterusnya: “ajrahum bi ahsan ma kanu ya’malun”. Nalar tafsirnya kira-kira begini:
Pertama, untuk menunjukkan bahwa lafal “Man” itu musytarak, multi dimensi. Bisa mufrad, mutsanna maupun jamak. Bisa pula untuk cowok dan cewek. Begitu disiplin ilmu nahwu merumuskan. Jadi terserah apa maunya yang berbicara, lalu tinggal menyesuaikan saja.
Pertanyaatan “siapa anda?”. Jika yang dihadapi cowok, maka: “Man Anta?”. Jika cewek, maka menjadi “Man Anti?”. Jika berhadapan dengan dua orang, baik pria keduanya atau wanita keduanya atau campuran, maka jadilah: “Man Antuma?”. Jika banyak, menjadilah: “Man antum?” dan seterusnya.
Kedua, ketika Tuhan membicarakan servis dunia yang super bagus, dipakailah bentuk mufrad “Falanuhyiyannahu hayah thayyibah”. Tapi saat membicarakan servis akhirat, diganti dengan bentuk jamak “wa lanajziyannahum ajrahum bi ahsan ma kanu ya’malun“. Mengapa demikian? Allahu a’lam. Kemungkinan begini:
Dipakainya bentuk mufrad saat Tuhan menjanjikan servis dunia kelas tinggi berupa hidup super bagus bagi orang beramal kebajikan dan sungguhan beriman kepada-Nya adalah:
Pertama, untuk meyakinkan kepada setiap orang yang melakukan itu, di mana masing-masing pribadi pasti diperhatikan Tuhan dan langsung di-handle Tuhan.
Kedua, untuk lebih menyentuh dan memuaskan masing-masing pribadi. Bahwa kenikmatan tersebut pasti bisa dirasakan secara melegakan sesuai selera. Maka dijamin puas dan membahagiakan.
Ketiga, servis duniawi tersebut sifatnya sedikit dan sementara, sesuai kurikulum dunia yang sedikit dan sementara. Semua itu tidak seberapa dibanding dengan servis nanti di akhirat.
Makanya, bentuk mufrad paling representatif dipakai untuk melambangkan itu. Keempat, karena servis akhirat (surga) itu sangat universal dan abadi, lebih pada anugerah (fafhal) ketimbang sebagai balasan setimpal atas amal perbuatan (‘adl). Maka, bentuk jamak yang melambangkan multi sektoral lebih cocok dipakai ketimbang lambang mufrad.
Wallahu a’lam bissawab …