Fikih Risywah (Suap)

Ad
Fikih Risywah (Suap)

Risywah atau suap dalam istilah fikih merupakan tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain untuk menggagalkan kebenaran atau mewujudkan kebatilan. Hukumnya adalah haram, tanpa ada khilaf di antara para ulama, bahkan digolongkan sebagai dosa besar.

Keharaman dalam risywah ini berlaku bagi tiga orang, yakni orang yang memberikannya (orang yang menyuap), orang yang mendistribusikannya, dan orang yang menerimanya.

Akan tetapi ada suap yang diperbolehkan, yaitu suap yang ditujukan untuk merealisasikan kebenaran atau menghalangi kezaliman dan bahaya. Pada suap yang diperbolehkan seperti itu, dosa risywah hanya akan didapatkan oleh orang yang menerima suap, bukan yang memberikannya.

Kebolehan risywah juga berlaku bagi orang yang membela diri atau melindungi harta bendanya. Artinya dia memberikan suap demi keamanan nyawa dan hartanya. Hal ini sebagaimana pendapat Abu Laits al-Samarqandi.

Dalam penjelasan yang lebih detail di kitab Hasyiyah al-Rahuni, dijelaskan bahwa risywah yang diperbolehkan, dalam kaitannya untuk tujuan kebaikan, harus benar-benar ditakar terlebih dahulu apakah memang lebih banyak kebaikannya atau masih lebih banyak keburukannya.

Begitu pula dengan parameter kebaikan hanya dikhususkan bagi hukum-hukum syariat, bukan kebaikan yang ditentukan oleh akal belaka.

Menurut Mazhab Hanafi, risywah terbagi menjadi empat macam. Pertama adalah risywah atas sistem peradilan dan pemerintahan (menyuap ke pejabat), hukumnya adalah haram bagi orang yang menerima dan memberinya.

Kedua adalah risywah yang ditujukan agar hakim mengeluarkan hukum sesuai keinginan pemberi. Hukumnya seperti yang pertama, haram bagi penerima dan pemberi. Keharaman ini tetap berlaku meskipun hakim pada akhirnya menjatuhkan putusan yang benar setelah menerima suap.

Risywah yang ketiga adalah risywah yang diberikan kepada pemimpin daerah atau negara dalam rangka menghindari bahaya atau mencari manfaat (syar’i). Risywah seperti ini hanya haram bagi yang menerima saja, tidak bagi orang yang memberi. 

Adapun risywah yang keempat adalah risywah yang diberikan kepada orang yang bukan pegawai pengadilan, agar orang itu mau membantunya dalam meraih hak-hak orang yang memberi risywah. Risywah terakhir ini hukumnya halal, baik bagi yang memberi maupun yang diberi.

Hal-Ihwal Penerima Risywah

Ketika seseorang mendapatkan pemberian dari orang lain, ia terkadang tidak tahu apakah itu risywah atau bukan. Ulama kemudian memberikan rambu-rambu agar umat Islam berhati-hati. Rambu-rambu tersebut banyak ditentukan oleh jabatan atau profesi orang menerima pemberian.

Apabila orang tersebut adalah imam, penguasa, atau pegawai negara, hukumnya adalah makruh menerima hadiah, meskipun belum jelas risywah atau tidak. Hukum ini dikecualikan dari Nabi karena beliau makshum.

Adapun apabila orang yang menerima pemberian adalah seorang hakim, mengikuti pendapat yang berhati-hati, maka hukumnya haram menerima risywah dan pemberian yang bisa menyebabkan ketidak-objektifan putusan hukum, seperti hadiah dari orang yang berperkara.

Apabila orang yang menerima pemberian adalah mufit, maka haram menerima risywah dari orang yang memesan fatwa sesuai keinginannya, tetapi mufti boleh menerima hadiah. Lalu, apabila orang yang menerima pemberian adalah seorang guru, maka memberikan hadiah kepadanya justru sunnah karena penghargaan terhadap ilmu dan kesalehannya.

Begitupun dengan sang guru, ia boleh menerima pemberian tersebut. Akan tetapi, jika hadiah tersebut diberikan agar sang guru mau mengeluarkan jawaban sesuai keinginan pemberi, maka sebaiknya tidak diambil hadiahnya.

Adapun yang terakhir adalah seorang saksi. Saksi dalam suatu persidangan haram menerima risywah dan jika ia tetap mengambilnya, maka ia tidak bisa lagi dianggap sebagai saksi yang adil (gugur persaksiannya).

Apabila seseorang telah terlanjur menerima risywah, maka harta yang ia terima (harta suapan) tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya (orang yang memberi risywah). Hukum hal ini sama seperti ketika batalnya suatu akad transaksi.

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa hartanya tidak dikembalikan ke pemiliknya, melainkan dimasukkan ke baitul mal atau kas negara, sebagaimana khabar dari Ibnu al-Lutbiyyah. Dalam kaitannya dengan orang yang ingin bertaubat dari dosa risywahnya, Ibnu Taimiyah berkata:

“Barang siapa yang ingin bertaubat dari mengambil harta yang bukan haknya, maka ia harus mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya jika ia mengetahuinya. Apabila tidak diketahui pemiliknya, maka, serahkan harta itu pada urusan kebaikan umat Islam.”

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *