
Infaq dalam bahasa Indonesia ditulis “infak”, berarti pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan; sedekah; nafkah. Arti itu selaras dengan penggunaan kata infaq di masyarakat Indonesia. Kita biasanya memahami infaq sebagai perilaku memberikan harta untuk kebaikan. Mirip dengan sedekah.
Padahal, jika kita menelusuri di literasi Arab atau di kitab-kitab fikih, akan kita temukan pengertian yang cukup berbeda. Di literasi itu, infaq berarti semua perilaku mengeluarkan harta, baik untuk perkara yang baik maupun yang buruk, yang halal maupun yang haram, untuk keperluan pribadi, keperluan orang lain, maupun keperluan umum.
Meski ada perbedaan makna antara yang biasa kita pakai dengan konsep dasarnya dalam istilah Arab dan fikih, namun kata infaq memang lebih cenderung mengarah ke kebaikan. Contohnya seperti di Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134. Ayat itu menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang berinfaq di waktu lapang maupun sempit. Tentu infaq yang dimaksud adalah untuk kebaikan.
Bagaimana Cara Infaq yang Baik?
Hukum infaq terdiri dari beberapa kemungkinan. Ada yang wajib, sunnah, mubah, bahkan haram. Infaq yang baik berarti infaq yang berhukum wajib, sunnah, atau setidaknya mubah. Infaq wajib contohnya adalah zakat. Infaq sunnah contohnya sedekah harta. Infaq mubah contohnya mengeluarkan harta untuk bisnis. Dari sini terlihat bahwa zakat dan sedekah termasuk bagian dari infaq.
Selain itu, infaq yang baik harus memperhatikan etika. Salah satu etika utama adalah tidak merendahkan penerima infaq. Pada poin ini, menarik untuk diingat dawuh Gus Baha’ bahwa membeli jajan seorang pedagang lebih baik daripada sedekah ke mereka. Karena memberi uang secara cuma-cuma bisa menyinggung perasaan mereka.
Selain etika, niat juga penentu kualitas infaq seseorang. Niat yang ikhlas lillahi ta’ala membuat infaq terhalang dari riya’ atau pamer. Dengan niat seperti itu, kita berarti tidak boleh berinfaq untuk ‘cari muka’, ‘cari nama’, ‘cari popularitas’, dan sejenisnya.
Bukan berarti orang lain tidak boleh tahu kalau kita infaq. Itu boleh-boleh saja, apalagi jika ada tujuan baik agar orang lain tergerak untuk berinfaq juga. Yang tidak boleh adalah memamerkannya untuk tujuan-tujuan yang buruk tadi. Inilah pentingnya niat.
Infaq untuk Anak Yatim
Kami mencoba mencari ketentuan hukum seputar infaq dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyah (Ensiklopedi Fikih Kuwayt). Kitab itu seperti kamus, kita bisa melacak suatu istilah berurutan sesuai huruf awalnya. Ketika membuka kata infaq, ternyata tertulis “lihat kata nafaqah”.
Artinya, kata infaq tersebut sepadan atau termuat dalam penjelasan kata nafaqah. Memang, dari segi bentuk kata, infaq dan nafaqah memiliki huruf dasar yang sama, yakni nun, fa’, dan qaf. Maka di bahasa Indonesia, kata infak juga bisa diartikan sebagai nafkah.
Di penjelasan tentang nafaqah, terdapat pembahasan tentang nafkah anak yatim. Pembahasannya seputar siapa yang sebenarnya wajib menafkahi anak yatim? Tersebut tiga jenis kondisi sebagai jawabannya.
Pertama, jika anak yatim memiliki harta, maka nafkahnya diambilkan dari harta tersebut. Jadi tidak ada yang dibebani kewajiban menafkahi, yang ada hanyalah beban mengambilkan bagian harta milik si anak yatim saja. Yang bertugas mengambilkan adalah walinya, entah kakek, paman, atau kakak.
Kedua, jika anak yatim tidak memiliki harta namun memiliki kerabat, maka nafkahnya dibebankan pada kerabat tersebut. Yang disebut kerabat ada dua jenis. Pertama, keturunan langsung, yaitu kakek, ayah dari kakek, dan seterusnya ke atas. Kedua, non-keturunan atau disebut hawasyi. Contohnya seperti kakak, paman, atau anak dari paman.
Dari dua jenis kerabat tersebut, semua mazhab sepakat bahwa jenis pertama wajib menafkahi si anak. Sedangkan untuk jenis kedua, mazhab Hambali dan Hanafi menyatakan bahwa mereka wajib menafkahi, tapi mazhab Malili dan Syafi’i menyatakan tidak wajib.
Ketentuan tentang wajibnya kerabat menafkahi anak yatim juga disertai syarat, yaitu: 1) orang yang dinafkahi tergolong fakir atau tidak bisa bekerja; 2) orang yang menafkahi memiliki kelebihan harta; dan 3) keduanya sama-sama beragama Islam. Ketiga, jika anak yatim tidak memiliki kerabat dan tidak memiliki harta, maka nafkahnya diambilkan dari baitul mal. Baitul mal bisa kita anggap sebagai kas negara.
Berarti, ketika anak yatim tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa, maka negara wajib memenuhi nafkahnya. Selain negara, semua orang juga dianjurkan untuk turut membantu mereka.
Wallahu a’lam bissawab …