Sebelum bicara tentang aneka transaksi untuk anak yatim. Perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud anak yatim adalah anak yang belum baligh yang telah ditinggal mati oleh ayahnya. Jadi, ada batas umurnya, yaitu baligh.
Terkait zakat, Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa ada delapan jenis orang yang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), mualaf, gharim (orang yang terlilit hutang), ibnu sabil (musafir atau perantau yang kehabisan bekal), amil zakat, dan riqab (budak). Di antara delapan jenis orang tersebut, tidak ada anak yatim. Artinya, status yatim tidak bisa menjadi alasan seseorang menerima zakat.
Meski begitu, bukan berarti kita tidak boleh memberi zakat kepada anak yatim. Kita bisa memberi mereka zakat dengan cara mengaitkan kondisi anak yatim kepada salah satu dari delapan jenis penerima zakat tadi. Contohnya mengaitkan kondisi anak yatim kepada status fakir. Ketika ada anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya dan dia sama sekali tidak memiliki harta, maka dia terhitung sebagai fakir. Karenanya, dia berhak menerima zakat.
Contoh yang lain seperti mengaitkan kepada status miskin. Misalnya ada anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, tapi ibunya masih sanggup bekerja. Hanya saja, hasil kerja sang ibu masih kurang untuk mencukupi biaya hidupnya. Maka, anak yatim itu memenuhi kriteria miskin. Sama dengan contoh sebelumnya, anak yatim ini boleh menerima zakat karena statusnya sebagai miskin, bukan karena status yatim itu sendiri.
Bagaimana dengan anak yatim yang kaya? Seperti anak yang telah disiapkan banyak harta oleh ayahnya, lalu ayahnya meninggal dunia. Tentu, anak yatim yang kaya seperti itu tidak berhak menerima zakat. Bahkan bisa jadi ia masuk kategori orang yang wajib zakat.
Baca Juga: Cara Zakat Fitrah Menurut 4 Mazhab
Bagaimana Cara Islam Mencukupi Kebutuhan Anak Yatim?
Kalau kita baca kitab fikih, seperti Kifayatul Akhyar, akan kita ketahui bahwa pada zaman dulu kebutuhan anak yatim dicukupi oleh kas negara (baitul mal) karena dia dapat jatah ghanimah (jarahan perang). Tapi, hari ini kondisinya berbeda. Tidak ada lagi ghanimah. Maka tepatlah jika Indonesia melalui undang-undangnya menyatakan bahwa anak yatim termasuk jenis orang yang ditanggung negara.
Selain itu, kita tahu betapa besar fadilah atau keutamaan menyantuni anak yatim. Itu menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk peduli kepada anak yatim. Lihat misalnya surat Al-Ma’un. Fa dzalika alladzi yadu’u al-yatim. Ada ayat yang mengancam orang-orang yang menzalimi anak yatim. Jika kita perhatikan, anjuran untuk peduli anak yatim ini memiliki nuansa ancaman yang kuat. Artinya, meski tidak diwajibkan secara langsung untuk mencukupi kebutuhan anak yatim, kita setidaknya harus ikut memikirkan kondisi anak yatim di sekitar kita.
Barangkali di poin itulah peran penting lembaga sosial seperti LSPT. Meski anak yatim telah menjadi tanggungan negara, tetap harus ada perwakilan orang yang turut ambil bagian untuk memperhatikan anak yatim. Khususnya, jika lembaga ini bernuansa Islam seperti LSPT, ada peran yang perlu diperhatikan dengan seksama, yaitu mencukupi kebutuhan non-materi dari anak yatim.
Ketika Islam menganjurkan untuk mencukupi kebutuhan anak yatim, yang dimaksud tidak hanya kebutuhan materi saja, tapi juga kebutuhan non-materi. Contohnya seperti kebutuhan akan pengetahuan (ilmu), keterampilan (skill), kasih sayang atau perhatian, dan sejenisnya. Oleh karena itu, lembaga sosial seperti LSPT jangan hanya fokus pada santunan uang saja. Sediakanlah prosentase anggaran dan program untuk menyantuni kebutuhan non-materi anak-anak yatim. Seperti memberi pengajian ke anak yatim, menyekolahkan, melatih keterampilan untuk bekerja, dan lain-lain.
Untuk jenis transaksi, sah-sah saja mau dilewatkan infaq, sedekah, atau zakat. Yang jelas tujuannya adalah kafalah atau mencukupi kebutuhan. Justru yang perlu diperhatikan adalah jenis kebutuhannya. Kebutuhan fisik atau materi tentu harus kita cukupi, tapi jangan lupa ada kebutuhan non-materi juga yang tidak kalah penting untuk kita cukupi pula. Wallahu a’lam.