Hukum Wakaf Uang

Ad
Hukum Wakaf Uang

Dalam sejarah, wakaf uang bukanlah hal baru. Sejak dahulu sudah ada pendapat yang memperbolehkan wakaf uang, tepatnya pendapat seorang tabiin senior bernama Ibnu Syihab Az-Zuhri. Pendapat inilah yang banyak dirujuk untuk menghukumi kebolehan wakaf uang.

Termasuk di antara yang merujuknya adalah Fatwa MUI tahun 2002, hasil-hasil bahtsul masail, serta kitab berjudul Risalah fi Jawazi Waqfi al-Nuqud yang merupakan referensi primer tentang wakaf uang. Merujuk pendapat Az-Zuhri, semuanya menyatakan bahwa wakaf uang hukumnya adalah boleh.

Bagaimana dengan syaratnya? Sama dengan wakaf yang lain, terdapat syarat bahwa uang yang merupakan barang wakaf itu tidak boleh berkurang. Artinya, nominal uang harus tetap sama. Sedangkan bagian yang ditasarufkan untuk penerima wakaf adalah keuntungan dari uang itu. Lebih mudahnya mari kita simak contoh wakaf uang yang diselenggarakan oleh IKAPETE.

IKAPETE menetapkan bahwa wakaf uang yang ditargetkan senilai 1 miliar rupiah. IKAPETE lalu melakukan penggalangan dan ajakan kepada orang-orang yang ingin mewakafkan uangnya. Sebelum mencapai 1 miliar, uang itu tidak bisa diapa-apakan. Ketika sudah sampai 1 miliar, IKAPETE lalu mengarahkan uang itu untuk dikelola yang hasil atau keuntungannya ditasarufkan sebagai manfaat wakaf. Dengan melakukan itu, uang 1 miliar yang tercatat sebagai barang wakaf tidak akan berkurang.

Bagaimana dengan persoalan nilai tukar uang yang fluktuatif? Memang, uang di waktu tertentu bisa memiliki nilai tukar yang tinggi, dan di waktu lain bisa rendah. Itu tergantung pada banyak faktor, seperti kestabilan ekonomi negara dan sebagainya. Apakah itu berdampak pada hukum wakaf uang? Jawabannya adalah tidak.

Fluktuasi nilai tukar itu sebenarnya juga terjadi pada barang wakaf selain uang. Contohnya seperti tanah. Tanah yang diwakafkan di tahun tertentu bisa jadi mengalami perubahan harga di tahun-tahun setelahnya. Harganya cenderung naik, tapi bisa juga turun karena sebab tertentu. Artinya, fluktuasi nilai tukar tidak menjadi masalah pada hukum wakaf uang. Yang harus dipastikan adalah nominal uang itu tidak berkurang.

Baca Juga : Cara Merawat Barang Wakaf yang Rusak

Mengelola Wakaf Uang

Sebagaimana kita ketahui, barang wakaf menyaratkan dikelola oleh seorang nazir. Hanya saja, dalam wakaf uang, pengelolaan uang hingga menghasilkan keuntungan bisa dikerjasamakan dengan pihak-pihak lain. Dalam contoh IKAPETE yang telah disinggung, uang wakaf 1 miliar yang terkumpul dimasukkan ke dalam bank untuk dikelola dengan asas mudhorobah dan sejenisnya. Bagi hasil dari pengelolaan itu yang disalurkan sebagai manfaat wakaf. 

Selain melalui bank, pengelolaan uang wakaf juga bisa diarahkan sebagai modal usaha perorangan. Mirip seperti bank, bagi hasil atas usaha perorangan tersebut yang kemudian ditasarufkan dengan nominal modal yang tidak berkurang. Namun, bagaimana jika usaha tersebut mengalami kerugian?

Terdapat teori yang berbunyi al-ridha bi syai’ ridha bi ma yatawallada minhu, artinya ketika seseorang ridha terhadap sesuatu, maka dia juga otomatis ridha dengan sesuatu yang terlahir darinya. Jika teori ini dihubungkan dengan penggunaan uang wakaf untuk modal usaha yang hukumnya adalah boleh, maka kebolehan itu juga tidak mempersalahkan konsekuensi suatu usaha, yakni bisa untung dan bisa rugi.

Kita tidak bisa menafikan bahwa suatu usaha bisa rugi. Kita juga tidak bisa memaksa usaha itu untuk selalu untung. Sebab, untung dan rugi adalah konsekuensi logis dari usaha. Bagaimana dengan nasib uang wakaf tadi jika rugi? Hal itu sama dengan wakaf sawah yang terkena bencana alam atau wakaf masjid yang roboh, bahkan bekerja sama dengan bank juga bisa mengalami hal serupa jika bank yang bersangkutan diliquidasi. Tentu kita tidak mengharapkan hal-hal itu terjadi.

Dalam kaitannya dengan usaha yang menggunakan modal uang wakaf, sebaiknya dikalkulasi dahulu secara jelas dan profesional yang bisa meminimalisir kemungkinan rugi. Kalau memang terjadi kerugian, sebisa mungkin yang dikalahkan bukanlah uang modal, melainkan uang hasil putaran usaha yang telah ada sebelumnya. Menggunakan uang modal hanya ketika terpaksa saja. Ketika terjadi kerugian, kita tidak boleh putus asa, melainkan perbaiki kesalahan-kesalahan yang ada hingga usaha itu bisa bangkit dan menghasilkan keuntungan yang bisa menutup kerugian sebelumnya.

Selain itu, perlu diketahui pula bahwa pengelola uang wakaf tadi boleh mengambil bagian keuntungan untuk dirinya jika diperlukan. Hal ini memiliki landasan dalil yang cukup kuat sebagaimana pendapat Imam Az-Zuhri yang mengacu pada hadis riwayat Imam Bukhari. Kebolehan itu tentu perlu dihitung dengan bijak oleh para pihak yang terlibat di dalamnya agar tetap ada hasil yang bisa ditasarufkan sebagai buah wakafnya.

Wallahu a’lam bissawab …

Ad

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *